Subscribe to our RSS Feeds
Hello, this is a sample text to show how you can display a short information about you and or your blog. You can use this space to display text or image introduction or to display 468 x 60 ads and to maximize your earnings.

karya saudara sayaa nihhh,

0 Comments »


Si Manis Hari Pertama MOS

Ercha menggeliat di tempat tidurnya. Ia melihat jam dinding. Pukul 05.00. Ia buru – buru bangun. Mengambil air wudlu dan bergegas sholat subuh. Selesai sholat subuh, Ercha langsung mandi dan berdandan.
“Berangkat jam berapa,nak?” tanya ibu Ercha pada anak perempuan satu – satunya.
                “Sebentar lagi,bu. Ercha nggak sarapan ya. Ntar aja pulangnya. Palingan disana Cuma sebentar,” jawab Ercha terburu – buru.
 Melihat anak gadisnya seperti itu, ibu Ercha hanya mampu menggelengkan kepalanya. Bukan Ercha namanya kalau tidak terburu – buru seperti itu. Ercha berpamitan pada kedua orang tuanya dan mengayuh sepedanya cepat – cepat menuju sekolah barunya. Yakni SMA 69. Sesampainya disana, Ercha bersyukur. Ternyata ia tidak terlambat. Ia bertemu dengan Gladis. Teman satu kelasnya semasa SMP.
“Gladis sombong ih,” sapa Ercha yang langsung disambut tawa oleh temannya itu.
“Eh, katanya kecengan kamu itu sekolah disini juga. Kelas XI, ya? Kasih tau dong orangnya yang mana,” Ercha mendekati Gladis sambil menggoda temannya itu.
Gladis memang pernah bercerita bahwa ia naksir anak SMA 69. Namanya Gio. Katanya sih Gio itu ganteng. Tapi itu baru katanya. Dan itu membuat Ercha penasaran dengan sosok Gio.
“Hahaha. Hari ini orangnya nggak masuk. Senin aja aku kasih liat,” Gladis menjawab masih dengan tawanya. Ercha hanya mengacungkan jempolnya.
Tak lama, OSIS SMA 69 pun menyuruh murid baru berbaris di lapangan. Para murid baru itu disuruh apel, ini, itu, dan bla bla bla lainnya yang membuat Ercha bosan. dan saat pembagian kelas, semua murid baru disuruh mencari kertas – kertas yang ditempel entah dimana saja untuk mendapatkan kelasnya. Ercha sudah berlari – lari dan menemukan beberapa kertas tertempel. Namun sialnya, Ercha tidak menemukan namanya dimanapun.
“Cha, udah dapet kelas?” tanya seseorang pada Ercha yang sudah mulai lesu dan menekuk wajahnya. Ercha hanya menggelengkan kepalanya.
“Cari bareng, yuk,” ajak orang itu.
 Ercha hanya mengangguk. Dan ketika Ercha melihat gerombolan anak berseragam SMP mengerumuni tembok, Ercha langsung berlari menuju gerombolan itu. namanya tercantum disana. Ia masuk kelas X 7. Gadis itu berlari ke atas menuju ruangannya. Jantungnya berdegup kencang. Takut terlambat dan takut dimarahi. Padahal, hari itu masih Pra – MOS. Ercha memang datang paling akhir. Tapi untungnya, ia tidak benar – benar terlambat. Saat memasuki kelas, ia terlihat seperti orang linglung. Tidak satupun teman yang ia kenal. Yang akrab dengannya maksudnya. Namun, seseorang yang duduk didepan sebelah pintu kelas, berkacamata, dan untungnya berjenis kelamin perempuan, memanggilnya.
“Ercha, sini. Duduk sama aku aja,” kata gadis itu.
Tanpa pikir panjang, Ercha langsung duduk disebelah gadis itu. Namanya Clarista. Dia temannya saat SMP. Bukan teman akrab sih. Tapi anggap saja mereka sudah berteman. Hari itu terasa biasa – biasa saja bagi Ercha. Hanya mencatat keperluan hari Senin. Pukul 11.00, semua murid baru SMA 69 dibolehkan pulang. Sesampainya di rumah, Ercha langsung menyiapkan kebutuhannya. Sabtu malam, Minggu pagi, dan Minggu malam. Akhirnya, hari Senin pun tiba.
Seperti biasa, Ercha bangun pukul 05.00 WIB. Ercha mandi dan bersiap – siap berangkat sekolah. Gadis itu mengucir rambutnya dengan pita warna pink. ‘Kenapa dapetnya warna pink gini, sih? Ini benar – benar menjijikan,’ gerutu Ercha dalam hati. Ercha memang sangat anti dengan warna yang satu ini. Menurut dia, warna pink itu menjijikan. Cewek banget. Padahal ya dia itu cewek. Yaudah si biar.
“Erchaaaa. Sarapan dulu, nak. Jangan langsung berangkat, kamu,” suruh ibunya pada Ercha.
Ercha hanya bergumam sambil terus menali rambutnya. Setelah selesai, Ercha langsung berlari ke meja makan dan makan dengan terburu – buru. Jam menunjukkan 05.30. Ercha mulai terburu – buru. Ia mencium tangan ayah ibunya dan juga mencium pipi adiknya yang masih berumur 1 tahun. Ercha mengayuh sepedanya cepat- cepat. Sesampainya di SMA 69, untungnya ia belum terlambat.
“Gila, capek banget. Aku kira udah telat,” seru ercha pada Clarista.
“Bangun kesiangan, kamu?” tanya Clarista pada Ercha.
Ercha hanya menjawabnya dengan cengiran lebar. Tak lama, anak kelas X di suruh berbaris di lapangan basket. Berbaris satu jam disana tanpa melakukan apapun dan di tonton para kakak kelas. ‘Gila. Dipampang gini. Malu dong. Mana ngantuk pula. Jahat bener OSISnya. Apa aku yang kebangetan, ya? Masa kaya gini malah ngantuk?’ Ercha berdebat dengan dirinya sendiri. Maklum, Ercha anaknya cepat ngantuk. Tak peduli kapanpun dan dimanapun ia berada. Dan gadis itu juga agak aneh. Kalau kalian baru pertama kali mengenalnya, kalian pasti berfikir ‘Cewek ini dingin dan pendiem,’ tapi kalau kalian sudah lama mengenalnya, kalian akan menilainya dengan cara yang berbeda.
Satu jam telah berlalu. Akhirnya, upacara selesai. Ercha menunduk malas dan berjalan menuju gerbang untuk memasuki kelasnya.
“Chaa.. Erchaaa.. Ercha..” teriak seseorang mencoba memanggil Ercha. Ercha sendiri langsung celingukan mencari sumber suara. Setelah menemukan orang yang memanggilnya, ternyata ada Gladis disana.
 “Itu lho yang namanya Gio,” kata Gladis pada Ercha. karena bingung, Ercha mengerutkan keningnya dan menggerakkan dagunya kedepan.
“Yang di belakang kamu,” kata Gladis lagi sambil menunjukkan dengan jari telunjuknya.
Secara spontan, Ercha berbalik ke belakang. Ternyata, ada seorang cowok berwajah manis, bertubuh jangkung, berkulit sawo, berdiri tegak dibelakang Ercha. setelah mengamati Gio, dengan bodohnya Ercha berlari menemui Gladis.
“Ganteng kan Gio?” tanya Gladis pada Ercha dengan wajah bersinar.
 “Biasa aja si. Tapi lumayan kok. Manis,” jawab Ercha sambil tersenyum.
 Dan mereka berduapun pergi menuju kelas masing – masing. Ercha menjalani tiga hari sebagai peserta MOS dengan hati yang setengah – setengah. Setengah ikhlas dan tidak.
Sehari, dua hari, tiga hari. Seminggu, dua minggu, tiga minggu. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Pada suatu malam, di rumah mbak Niken, tetangga Ercha, sekaligus teman satu kampungnya, mbak Nadin yang juga kakak kelas Ercha di SMA menunjukkan sebuah foto pada mbak Niken.
“Nik, ini centre nya EXO. Namanya Kai. Ganteng,” kata mbak Nadin sambil menunjukkan foto Kai EXO pada mbak Niken.
“Alah,. EXO itu kan juniornya SUJU. Sekarang malah pada ngefansnya sama EXO. Nyebelin banget,” protes mbak Niken dengan wajah cemberutnya.
 “Coba liat. Seganteng apa, sih?” gerutu Ercha sambil mengambil hand phone mbak Nadin.
Saat melihat seorang cowok ganteng asal Korea yang sedang tersenyum itu, Ercha merasa familiar dengan wajah itu.
“Ini.. ini.. ini wajahnya mirip.. mirip siapa ya? Aku lupa namanya. Mirip siapa sih? Ng.. ah.. iya. Ini wajahnya mirip mas Gio,” kata Ercha agak bersemangat.
“Gio? Gio anak kelas XI itu? Anak XI IPS 4 itu?” tanya mbak Nadin dengan kening berkerut.
”Ha? nggak tau mas Gio kelas apa. Yang jelas mas Gio itu kelas XI. Wajahnya mirip Kai,” jawab Ercha sekenanya.
Entah mengapa, setelah  mengetahui bahwa seorang Gio mirip dengan Kai, mbak Nadin jadi berburu Gio. Kadang, dia bercerita saat mbak Nadin kelas XI, ia satu ruangan dengan Gio saat ulangan.
“Gio itu dulu waktu ulangan satu ruangan sama aku. Kata temennya, dulu dia rajin bolos. Tapi, dia emang manis. Kata temenku yang rajin telat, Gio juga rajin telat. Eh iya, kok kamu tau Gio itu dari mana?” tanya mbak Nadin tiba – tiba.
Ercha tersentak. Mbak nadin menatapnya penuh selidik. Ercha menjadi serba salah dan terlihat salah tingkah.
“Ehem. Gini. Kan dulu, waktu pertama masuk SMA, temenku yang namanya Gladis itu naksir Gio. Lha waktu hari pertama MOS itu, aku di kasih liat yang namanya Gio itu yang mana. Manis sih. Katanya juga kalo naik motor keren banget,” Ercha menjelaskan.
Mbak Nadin mengangguk – anggukkan kepalanya.
 “Bukannya dia kalo berangkat jalan kaki ya? Terus pulangnya sama temennya yang naik sepeda yang putih, kurus, tinggi, dan unyu – unyu itu. kalo nggak salah namanya Didit. Gio nggak pernah naik motor kok. Paling Cuma nebeng. Itu aja jarang banget. Eh iya. Gladis punya nomornya? Maintain dong,” rayu mbak Nadin pada Ercha.
Ercha hanya menghela nafas panjang dan menyerahkan hand phonenya.
“Sms sendiri,” kata Ercha cuek.
 Hari berganti hari. Kegilaan mbak Nadin pada sesosok Gio semakin menjadi. Pada saat Ercha bermain ke rumahnya mbak Nadin, mbak Nadin memamerkan kertas pada Ercha. Ercha mengerutkan keningnya. Ia mengambil kertas itu dan melongo.
“Apaan ni? Struk kelas? XI IPS 4? Buat apa?” tanya Ercha masih melongo.
Terlebih lagi pada nama yang diberi stabilo pada presensi 17. Sambil nyengir, mbak Nadin menjawab.
“Hehe,. Itu kan struk kelasnya Gio. Aku pengen tau nama lengkapnya. Tapi ini kok disingkat ya? Tanyain ke Gladis dong nama lengkapnya Gio siapa?” pinta mbak Nadin.
Ercha dengan malasnya mengirim sms pada Gladis. Satu menit dua menit lima menit. Gladis membalas smsnya yang langsung dibacakan Ercha agar mbak nadin mendengar nya.
“Gionino Fahreza. Itu nama lengkapnya,” mbak Nadin langsung membelalakkan matanya.
“Wah, parah. Pantesan setiap bicara Gio sama Gladis nggak sama,” komentar mbak Nadin.
“Emang kenapa?” tanya Ercha singkat.
”Kita itu salah orang. Yang kamu liat sama yang ditaksir Gladis itu beda. Gio yang kamu liat itu Giovano A. sedangkan Gio yang disuka Gladis, namanya Gionino Fahreza. Gionino fahreza itu yang naik motor. Kalo Gio yang biasa kita bicarain itu jalan kaki,” kata mbak Nadin menjelaskan.
Ercha mengerutkan keningnya
“Terus, Gio yang di taksir Gladis itu yang mana?” tanya Ercha.
“Pokoknya lebih ganteng dari yang kita bicarain,” jawab mbak Nadin singkat.
Awalnya, Ercha merasa biasa – biasa saja dengan Gio. Tak peduli dengan hidupnya, dan semua tentangnya. Yang Ercha tau, Gio bernama lengkap Giovano A., kelas XI IPS 4, presensi 17, sekolah di SMA 69, berangkat sekolah jalan kaki, pulang sekolah nebeng temen naik sepeda, temen deketnya bernama Didit. Gio adalah seorang laki – laki bertubuh jangkung, berkulit sawo, berwajah manis, pendiam, dan memiliki senyum yang benar – benar manis. Dan akhirnya, Ercha juga mulai menjadi fansnya Gio. Ercha mulai mendekati Gio dengan cara menge-add akun facebook-nya. Ercha selalu bersemangat jika Clarista atau temannya yang lain memberitahunya jika ada Gio lewat atau dimanapun ada Gio. Ercha juga mencari nomor Gio. Memintanya pada teman – temannya yang kost untuk memintanya pada kakak kelas yang satu kelas dengan Gio.
Pada tanggal 1 Maret, Ercha mendapatkan nomor hand phone Gio. Ia mendapatkannya dari Windi. Ercha mulai sms Gio. Dari sekedar sms iseng, hingga menjadi kebiasaan setiap hari smsan dengan cowok manis itu. Awalnya, Gio tak tau Ercha itu yang mana. Ercha juga berusaha menyembunyikan dirinya. Namun, pada saat sebelum upacara bendera, saat Ercha dan teman – temannya berdiri didepan kelas, Gio lewat dan memberikan senyuman padanya. Itu benar – benar membuat Ercha bahagia. Hanya sebatas itulah hubungannya dengan Gio. Tidak lebih.
Tetapi pada suatu malam, Gio menyatakan suka pada Ercha. Hanya menyatakan. Mengungkapkan. Tidak memintanya untuk menjadikannya lebih dari seorang teman. Dan Ercha sendiri hanya menganggapnya itu sebagai ungkapan. Lama – kelamaan, Ercha merasakan ada hal yang berbeda pada dirinya. Tentang perasaannya pada Gio. Perasaan dari seorang fans, dari sekedar suka, mengagumi, menjadi menyayangi. Dan terkadang, Ercha berambisi untuk memiliki seorang Gio. Tapi ia tutup rapat – rapat ambisi itu. Ia hanya berusaha untuk menunggu. Menunggu seorang Gio merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan. Menunggu seorang Gio mengejarnya. Memiliki ambisi yang sama seperti ambisi yang ia miliki. Ercha memilih menunggu. Menunggu sampai ia benar – benar menyerah. Menunggu ‘Si Manis Hari Pertama MOS’ J
6:14 AM

0 Responses to "karya saudara sayaa nihhh,"

Post a Comment